HOT NEWS

Asosiasi Tongkang dan Sopir Minta Underpass KM 101 dibuka kembali

pesisirmedia.com, Banjarmasin – Perwakilan asosiasi tongkang pengangkut batubara dan asosiasi hauling serta sopir mendesak underpass KM 101 Antang Gunung Meratus dibuka kembali.

Ketua Perwakilan Asosiasi Tongkang, H Safei mengungkapkan, police line dan blokade jalan berupa pemasangan portal yang dilakukan PT Tapin Coal Terminal (TCT) sejak 27 November lalu telah memberikan dampak yang signifikan terhadap usaha dan keluarganya. Lantaran tidak dapat lagi beroperasi, H Safei mengaku tidak sanggup membayar pinjaman kepada pihak bank.

“Tongkang-tongkang punya saya tidak lagi kerja. Saya sampai telepon orang kredit (bank) bahwa siap-siap untuk tidak bisa bayar. Kami ini tidak salah. Kami ini korban,” kata H Safei dalam siaran pers yang diterima kalselpos.com, Minggu (12/12/2021).

Bahkan, H Safei mengungkapkan dirinya terpaksa menggadaikan rumah lantaran masih memiliki utang di bank miliaran rupiah. Oleh sebab itu, dirinya mendesak agar underpass KM 101 dibuka kembali.

“Tanya saja orang yang punya tronton, kalau tidak bayar ditarik leasing-nya. Mohon ini bukan sekedar negosiasi, tetapi ada penekanan dari dewan. Jika ada persoalan selesaikan di pengadilan, jangan mematikan sumber hidup kami,” katanya.

Menurut H Safei jika jalan hauling KM 101 tidak segera dibuka maka akan berdampak luas terhadap perekonomian di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan dan juga negara.

H Safei mengatakan pihaknya membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ratusan juta. “Kita tahu Antang ini sudah menjadi Objek Vital Nasional. Jadi ini vital bagi kami dan rakyat,” tegas dia.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Perwakilan Asosiasi Angkutan Hauling & Sopir, Kartoyo, menyampaikan tuntutan serupa. Dampak dari penutupan underpass KM 101 telah dirasakan para sopir yang jumlah mencapai sekitar 1.000 orang. Kini, mereka tidak lagi memperoleh pendapatan.

“Kami dari angkutan dan sopir-sopir serta seluruh pekerja yang tergantung pada mata pencaharian ini, memohon untuk dibuka segera,” ujarnya.

Kartono melanjutkan pihaknya pun siap untuk mengangkut batu bara ke Antang maupun TCT. Atas dasar itu, pihaknya berharap permasalahan ini segera berakhir agar dapat kembali berakitivitas seperti semula. “Jangan kami dikorbankan. Tolonglah kami yang cari makan ini. Semoga ada win-win solution supaya kami dapat kembali kerja,” katanya.

Terkait sengketa hukum, Pengadilan Negeri Tapin telah menggelar sidang perdana gugatan perdata yang dilayangkan PT Antang Gunung Meratus (AGM) kepada PT TCT, Rabu (8/12) lalu.

Penasehat hukum PT AGM, Harry Ponto, mengatakan gugatan yang dilayangkan sebagai upaya hukum untuk memastikan bahwa kedua perusahaan masih terikat dengan perjanjian 2010 lalu.

Harry menegaskan pihaknya menyampaikan tiga tuntutan dalam gugatan tersebut. Pertama, PT AGM menegaskan perjanjian 2010 dinyatakan sah dan tetap berlaku. Tuntutan kedua, perjanjian 2010 mengikat TCT dan harus tunduk pada perjanjian tersebut.

“Ketiga, baik PT AGM dan TCT berhak menggunakan tanah obyek perjanjian yang merupakan bagian dari jalan hauling dan underpass, sesuai perizinan yang ada,” tegas Harry dalam siaran resminya.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Muhammad Handry Imansyah, mengatakan, persoalan yang terjadi antara PT Antang Gunung Meratus (AGM) dan PT Tapin Coal Terminal (TCT) harus segera diselesaikan. Mediasi diperlukan untuk mempertemukan perbedaan dua kepentingan.

Namun demikian, menurut Prof Handry, jika mediasi buntu maka pemerintah daerah dan DPRD Tapin memiliki daya paksa untuk menyelesaikan masalah ini. Karena blokade jalan hauling KM 101 merugikan perekonomian banyak pihak di daerah tersebut.

“Tentu banyak pihak yang dirugikan. Termasuk masyarakat luas. Negosiasi dan mediasi bisa dilakukan antarpihak demi kepentingan bersama yang lebih besar. Jika mediasi buntu, pemerintah dan DPRD punya daya paksa,” ujarnya kepada wartawan akhir pekan ini.

Prof Handry menambahkan, sengketa yang terjadi diantara kedua perusahaan harus segera diselesaikan. Jika salah satu pihak merasa dirugikan, melalui mediasi hal tersebut semestinya dapat dicari solusinya.

Jika kemudian proses mediasi mengalami jalan buntu, Prof Handry, menyarankan agar kedua perusahaan yang bersengketa menyelesaikan persoalan melalui jalur pengadilan.

“Pengadilan adalah salah satu langkah terakhir untuk menyelesaikan sengketa. Jika memungkinkan, jalan hauling itu pun bisa dibuka terlebih dahulu sembari perundingan atau sidang di pengadilan berjalan,” tegasnya.

Sebelum adanya police line dan blokade KM 101, aktivitas di jalan hauling tersebut berjalan normal. Hal itu dimulai dari kerjasama penggunaan lahan sejak tahun 2010.

Pada tahun 2010 tersebut, PT BMSS dan PT AGM (pemegang ijin PKP2B) sudah mendapat ijin pembangunan underpass oleh Gubernur Kalsel melalui PT BBC (salah satu perusahaan dalam group BMSS). Pada saat itu Anugerah Tapin Persada (ATP) juga mengajukan permohonan ijin pembangunan underpass.

Namun, Gubernur Kalsel saat itu Rudy Arifin, meminta agar ATP bekerja sama dengan BMSS dan AGM dalam pembangunan underpass karena ijinnya sudah keluar terlebih dahulu.

Belum selesai dibangun, PT ATP jatuh pailit. Kemudian Tim Kurator PT ATP (dalam pailit) yang ditunjuk pengadilan, mendapatkan izin dari pengadilan untuk menandatangani Perjanjian 2010 dengan PT AGM dan PT BMSS, agar proyek jalan khusus tambang dan Pelabuhan khusus PT ATP (dalam pailit) dapat terus berlanjut. Dapat juga disampaikan bahwa Perjanjian 2010 lahir dari iktikad baik PT AGM untuk bersama-sama menjalankan bisnis secara berdampingan.

Inti dari kesepakatan itu adalah tukar pakai tanah antara PT AGM dan PT ATP, yang di mana PT ATP berhak untuk menggunakan tanah PT AGM seluas 1824 m2 di sebelah timur underpass KM 101 untuk jalan hauling ATP. Kemudian, PT AGM berhak memakai tanah PT ATP di sebelah barat underpass KM 101 untuk jalan hauling PT AGM.

Dalam perjanjian 2010 juga terdapat sejumlah poin kesepakatan yang mengikat kedua perusahaan, yaitu pertama, perjanjian berlaku sepanjang tanah tukar pakai masih digunakan untuk jalan hauling.

Kedua, Perjanjian tidak berakhir dengan berpindahnya kepemilikan tanah. Ketiga, perjanjian berlaku mengikat kepada para pihak penerus atau pengganti dari pihak yang membuat perjanjian.

Ketika proyek jalan khusus tambang dan pelabuhan PT ATP beralih kepada PT TCT, perjanjian 2010 tetap dilaksanakan baik oleh PT AGM maupun PT TCT selama sepuluh tahun sejak sekitar 2011. Namun, sejak Oktober 2021 kemarin, terjadi sengketa wilayah di lahan tersebut. Akhir November 2021, polisi memasang garis polisi yang diikuti blokade oleh PT TCT di wilayah kilometer 101 Tapin.

Sumber : https://kalselpos.com/2021/12/12/asosiasi-tongkang-dan-sopir-minta-underpass-km-101-dibuka-kembali/

Related Articles

Back to top button
error: Content is protected !!